Birokrasi Kampus dan Hewan Kesayangannya

narakomen-07.



"Manakala orang-orang yang baik berdiam diri atas suatu kejahatan, maka para pelaku kejahatan mengira tindakan mereka adalah benar dan baik". (Imam Ali bin Abu Thalib)

Bengkulu tahun 2013 dalam artikel "Mengungkap Demo Bayaran Mahasiswa Bengkulu" adalah kota yang meriah dengan aksi demo mahasiswa, baik persoalan di kejaksaan, kepolisian, lembaga perwakilan rakyat, hingga kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat tinggi daerah. Semakin maraknya aksi tersebut, terdengar kabar "demo bayaran" yang konon menopangnya. 

Dalam investigasi kompas.com tentang "demo bayaran" di Bengkulu, terungkap beberapa fakta, yakni : (1) Beberapa aksi demo mahasiswa didanai oknum yang berlatar belakang politisi, pejabat tinggi daerah atau lawan politik dalam perkara korupsi. (2) Benefit yang didapat saat demo adalah Rp 50.000 dan satu nasi bungkus untuk satu orang. (3) Terdapat tiga tingkatan aktor "demo bayaran". Pertama, pemilik dana atau kepentingan tertentu yang memberikan tugas untuk mengumpulkan massa. Kedua, senior atau mahasiswa yang masih aktif di organisasi yang bertugas mengumpulkan massa. Terakhir adalah mahasiswa yang dijadikan koordinator lapangan (korlap) untuk mengkoordinir massa di ketika di lapangan.

Dari hasil tersebut, saya melakukan klarifikasi kepada dua orang aktivis yang pernah mengisi panggung demo di zamannya. Menurut mereka, hasil investigasi kompas.com adalah fakta yang harus diakui terjadi di beberapa tempat. Namun, bukan berarti bisa digeneralisir di tempat yang belum diketahui faktanya. 

Isu "demo bayaran" sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1967 di suatu kongres yang bertema “The Wars and Its Effects—II”, Senator Fulbright – dikutip dalam buku "Chomsky On Anarchism." – mengatakan kampus telah gagal melahirkan "pahlawan intelektual" yang kritis, bertanggungjawab dan independen terhadap kebijakan pemerintah. Malahan mereka menjadi agen-agen "kebijakan" (birokrasi).

Menghayati fenomena ini, seperti melihat jalan gelap menuju masa depan. Mahasiswa yang seharusnya menjadi "pahlawan intelektual" di tengah-tengah masyarakat, kini menjadi anjing kelaparan yang rela melakukan apapun demi memuaskan nafsu para pemilik kepentingan. Kenapa mereka menggadai idealisme "mahasiswa"-nya? Darimana ilmu hitam itu mereka pelajari. Kampus? Saya pernah berasumsi, kalau rusaknya suatu negara diawali dengan rusaknya sistem pendidikan di kampus. Namun, asumsi ini sepertinya tidak akan terjadi kepada mahasiswa yang selalu mempertahankan idealisme pergerakan. 

Tapi coba bayangkan, jika pelaksanaan pemilihan Ketua BEM atau Presiden Mahasiswa sudah menerapkan "money politic", memanipulasi dan mengubah hasil perolehan suara, atau memainkan orang dalam untuk mengatur perolehan suara. Bukan hanya itu, organisasi mahasiswa sudah belajar korupsi uang kegiatan, money laundry, hingga membuat program kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa atau bahasa kerennya "yang penting ada program kerja". 

Awalnya saya pikir peristiwa itu tidak akan terjadi di kampus. Apalagi yang saya tau mereka adalah orang-orang intektual dan memiliki spirit perjuangan dimasa lalu (misalnya reformasi 1998). Namun, suatu hari saya mendengar cerita seekor burung yang mengatakan ada ketua-ketua organisasi yang terpilih merupakan boneka birokrasi kampus. Katanya lagi, mereka dipilih dengan berbagai macam cara yang manipulatif, kotor dan tidak mendidik. Tujuannya, agar setiap kegiatan mereka dapat di kontrol oleh birokrasi kampus. Jadi pada dasarnya mereka dibentuk menjadi anjing-anjing setia yang ketika disuruh duduk oleh kampus, maka mereka akan duduk. Ya… seperti anjing-anjing yang sudah dilatih. Untuk mendapatkan makanan, mereka pasti akan menuruti instruksi tuannya.

"Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi." (Soe Hok Gie)

Mulailah mempertanyakan. Siapa tau, demo mahasiswa yang kalian lihat di jalan, ada anjing-anjing birokrasi kampus yang mengambil keuntungan dengan menjual nama "rakyat". Atau yakinkah mahasiswa yang masuk di organisasi mahasiswa adalah kaum intelektual yang independen dan kritis. Skeptislah, mungkin mereka anjing-anjing yang diberi jabatan agar kelihatan keren.   

Tapi, apakah gambaran di atas betul terjadi di kampus. Khususnya kampus di daerah kalian? Betapa mengerikannya ada kampus yang merawat generasi anjing-anjing penghancur suatu negara. "Celakalah" kampus dan orang-orang yang diam melihat kejadian itu. Ini seperti mimpi buruk disaat belum tidur—sungguh tidak bisa dipercaya kebenarannya. 

Secara kuantitas, mahasiswa yang menjadi anjing-anjing birokrasi sangatlah sedikit. Begitu pula yang menjadi antitesis mereka. Namun anjing-anjing itu memiliki keleluasaan dan pengaruh bagi mahasiswa yang lain. Hal ini mereka peroleh karena didukung dengan kekuatan birokrasi dan otoritas dosen memberi nilai untuk mempengaruhi mahasiswa yang lain untuk diam dan memberikan validasi sosial terhadap mereka.

Mahasiswa yang membiarkan anjing-anjing berdansa dengan riang, memiliki kategorik bermacam-macam, ada bertipe hedonis, akademisi, rasional, masa bodoh, rajin ibadah, berhijab dan lain sebagainya. Pada umumnya, jumlah mereka sangatlah banyak, tapi entah apa yang menyebabkan mereka bersikap demikian. Konon, kepatuhan dan sikap diam mereka disebabkan untuk memperoleh pengurusan administrasi yang mudah, nilai yang bagus hingga terhindar dari ancaman drop out (DO). Mungkin itulah cara mereka membahagiakan orang tua mereka dengan gelar sarjananya nanti, walaupun posisinya sama dengan anjing-anjing dan birokrasi yang lalim. 

“Barang siapa yang melihat seorang penguasa zalim yang mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah Swt, dan dia diam tidak menunjukkan reaksi, maka Allah berhak menempatkan orang itu di posisi penguasa lalim (neraka).” (Rasulullah SAW)

Jadi wajarlah, perilaku mahasiswa seperti menjilat kepada dosen, mark up, membuat proposal palsu, penyalahgunaan dana beasiswa, plagiasi, mencontek, titip absen menjadi hal yang biasa dan seolah-olah benar terjadi di kampus. Mungkin kampus lebih memilih lulusan perbudakan daripada sarjana pemikir.

Kondisi inilah melahirkan sikap gotong royong antara mereka untuk membentuk budaya perbudakan dalam kampus yang diinginkan oleh birokrasi kampus. Kondisi ini pun, mempermudah birokasi untuk meregenerasi anjing-anjing baru di periode berikutnya. Tapi bagaimana birokrasi dapat mengendalikan situasi kampus dengan mudahnya?

"Kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena berdiam dirinya orang-orang baik." (Imam Ali bin Abu Thalib)

Seperti yang saya singgung sebelumnya. Birokrasi kampus dan anjing-anjing yang sangat so sweet melakukan transaksi untuk mencari keuntungan. Transaksi ini tidak tertulis di buku manapun, maupun kitab suci apapun. Namun ini tercipta karena ada saling pengertian satu sama lain. Birokrasi kampus mau mahasiswa silent dan patuh. Sedangkan mahasiswa butuh makan, nilai yang bagus dan status. Keinginan-keinginan ini membentuk hubungan saling memenuhi diantara mereka.  

Seperti anjing kelaparan yang menggonggong dan diam setelah tuannya memberikan makan. Itulah proses transaksi antara birokrasi dengan hewan kesayangannya. Ya… mungkin mental mahasiswa seperti kerupuk yang seharga Rp. 2000. Akhirnya kelestarian anjing-anjing kampus terus berlangsung hingga sekarang.

"Revolusi akan gagal jika tidak diadakan perubahan radikal." (Soe Hoek Gie)

Komentar