Dibalik Bayang-Bayang Orde Baru, Masihkah Mahasiswa Menjadi Sinar Harapan?
narakomen-06.
Pada tanggal 21 Desember 2021, kompas.com menerbitkan tulisan yang berjudul "Demokrasi Indonesia Periode Orde Baru (1965-1998)". Dalam tulisan ini menceritakan, awal Orde Baru memberikan angin segar bagi rakyat Indonesia dengan konsep Demokrasi Pancasila. Konsep ini merupakan reaksi dari Demokrasi Terpimpin era kepemimpinan Ir. Soekarno. Gagasan utamanya adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni sehingga berdampak di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia.
Menurut Ajat Sudrajat (2016) dalam artikel "Demokrasi Pancasila Dalam Perspektif Sejarah" mengatakan, walaupun Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila mengutamakan musyawarah dan mufakat. Demokrasi Pancasila tidak memilih opsi kebijakan Pemimpin sebagai jalan terakhir ketika musyawarah dan mufakat tidak tercapai, melainkan dengan menggunakan voting (pemungutan suara). Hal ini sesuai dengan prosedur yang dikehendaki Pasal 2 Ayat (3) dan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.
Namun sayang, harapan rakyat bertepuk sebelah tangan, Norman Joshua menuliskan di artikelnya yang berjudul "Patrimonialisme Dalam Pemerintahan Orde Baru 1965-1998" menyatakan, Demokrasi Pancasila hanya baju di zaman Orde Baru, tapi isinyanya merupakan patrimonialisme, dimana pemerintah dan politik sangat militeristik dan sentralistik di Presiden. Sosial sangat dikontrol, kebebasan berbicara yang dijanjikan, perlahan-lahan lenyap. Jabatan kepemerintahan digunakan sewenang-wenang, hingga muncul isu-isu pelanggaran HAM.
Patrimonialisme Orde Baru berlangsung selama 30 Tahunan. Waktu yang sangat lama untuk rakyat menyaksikan ketidakadilan di berbagai bidang, yaitu politik, hukum, dan ekonomi. Serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seperti virus yang merambat ke segala lini pemerintah dan kebijakan. Alasan inilah yang melahirkan syarat-syarat terjadinya reformasi tahun 1998. puncaknya ditandai lengsernya Soeharto dari tahta kepresidenan dan lahirnya Demokrasi secara prematur.
Hari ini tahun ke-25 lahirnya demokrasi, waktu yang lama untuk membumihanguskan patrimonialisme di Negara Indonesia. Namun, 25 tahunan juga menjadi alasan tumbuhnya romantisme akan masa lalu. Sehingga beberapa orang ingin bernostalgia akan nuansa Orde Baru. Kerinduan kediktatoran menjadi virus dikalangan masyarakat yang haus akan kekuasaan dan duniawi, sehingga ketika lengah menegakkan demokrasi, maka virus itu akan mendominasi dan melahirkan Romantik-Soehartoisme. Virus ini tidak pilih-pilih orang untuk diserang, apakah dia alim ulama, presiden, orang tua, anak muda atau siapapun. Berpotensi terjangkit.
Romantik-Soehartoisme adalah kerinduan akan nuansa era Orde Baru dalam meraih kekuasaan. Pemahaman ini pernah viral ketika ada slogan “Piye kabare bro? Penak jamanku tho..” yang bisa kita temukan di baju dan stiker. Waktu itu juga, Museum Memorial Jenderal Besar H.M Suharto didirikan dan tiket masuk digratiskan. Menurut humas museumnya yang dikutip dari kompas.com, pendirian museum merupakan bagian upaya mengembalikan nama baik Suharto.
Sejarah mencatat bahwa kampus adalah rumah pergerakan 1998. Gerakan mahasiswa yang menggaungkan kebebasan dari rezim Orde Baru yang otoriter. Dikutip dari kompas.com, dari tahun 1997-1998 kurang lebih ada 23 aktivis kampus dihilangkan oleh negara, hal ini berdasarkan penemuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS). Makanya, kampus adalah sumbu demokrasi yang harus terus menyala di negeri ini untuk menjadi benteng terakhir mempertahakan demokrasi.
Sayang, perlahan-lahan politik birokrasi kampus menjadi panggung yang menggiurkan. Pemilihan rektor, maupun dekan menjadi seksi untuk diperebutkan. Isu suku, kepentingan, keluarga dan lainnya menjadi senjata dalam kepolitikannya. Kampus kehilangan unsur pendidikannya, kampus sudah menjadi ruang politik praktis yang kemungkinan akan melebarkan pintu lahirnya Romantik-Soehartoisme.
Pemahaman ini tidak mungkin tumbuh subur di kampus yang menjadi rahim lahirnya gerakan reformasi tahun 1998. Sampai-sampai menjadi hal biasa dikalangan mahasiswa. Apabila ini betul-betul terjadi, maka inilah mimpi terburuk dan terbodoh bagi Indonesia. Mimpi yang bertolak belakang dengan sejarah lahirnya perlawanan kepada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Orde Baru.
Tapi bagaimana kalau kampus benar-benar membiarkan pemahaman seperti itu tumbuh subur. Mungkin kalian akan bangga menjadi saksi lahirnya Romantik-Soehartoisme, apalagi kalian adalah pelaku atau suporter di dalamnya. Atau kalian akan ketakutan dan pusing mencari strategi apa yang kuat untuk menghadapi monster yang lahir dari rahim pemahaman gila itu.
Kelahiran monster ini memang membutuhkan waktu yang lama. Tetapi mempersiapkan akan kehadirannya sudah terjadi dalam proses mengajar dan belajar. Bayangkan, bagaimana mahasiswa dijadikan seperti hewan ternak karena nilai. Misalnya, mahasiswa harus beli buku untuk nendapatkan nilai bagus. Atau seorang dosen yang memaksa mahasiswa "menyumbang" untuk pembangunan masjid demi memperoleh nilai yang bagus.
Jika fenomena tersebut betul-betul terjadi di kampus yang kalian ketahui. Menurut kalian, apakah mahasiswa disana berani melaporkan dosen tersebut atau berbicara lantang untuk menggugat oknum dosennya? Atau kalian curiga mahasiswa seperti lintah yang ditaburi garam, sehingga membiarkan perilaku-perilaku yang tidak mendidik merajalela dunia kampus.
Suatu hari, seorang mahasiswa bercerita tentang semangat dia bertanya kepada dosennya tentang materi perkuliahan. Namanya juga mahasiswa yang merupakan individu yang harus didik, jadi wajarlah bertanya sesuatu yang tidak diketahui, hingga ke dasarnya. Tapi respon apa yang diterima mahasiswa dari dosennya? Mimik wajah yang jengkel, nada yang tinggi, atau pelabelan negatif, seperti bodoh, pertanyaan yang tidak berguna dan lain sebagainya. Pada intinya respon tersebut merupakan mekanisme pertahan ego untuk mempertahankan kehormatan profesinya dan memburu jam tayang mengajar.
Beberapa hari kemudian, saya ketemu lagi dengan mahasiswa itu. Dia terlihat mengalami penurunan kinerja otak, akibat perlakuan dari dosennya yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi otak (downshifting), sehingga dia mengalami ketakutan atau pesimistik untuk bertanya kepada dosennya lagi. Situasi ini membuat dosen berada di tingkat predator yang lebih tinggi di kelas. Tidak ada lagi yang berani bertanya dan tidak akan pernah ada diskursus kritis di kelas. Yang ada hanyalah pertanyaan "kapan selesai kuliahnya", semakin cepat selesai maka semakin bagus.
Apakah kalian pernah bertemu dengan tipe dosen tekstual?. Dosen yang hanya membahas apa yang tertulis dalam materinya (format PPT). Atau ketemu dosen yang gap-gap teknologi (gaptek). Merekalah yang membuat pengetahuan jadi stagnan, mengkerdilkan mahasiswa untuk menghadapi revolusi industri 4.0 dan membuat mahasiswa menjadi robot kampus. Hal ini bisa cara mereka mengajar, mendidik dan mengurus birokrasi kampus.
Berbeda dengan dosen konstektual dan berusaha menyesuaikan diri dengan zaman sekarang. Merekalah yang mampu menjelaskan hubungan materinya dengan kehidupan nyata, sehingga mahasiswa bisa tau dan mengerti bagaimana cara penerapan ilmu yang mereka dapat dalam kehidupan sehari-hari. Serta menggunakan teknologi sebagai alat untuk membangun pengetahuan, kreativitas dan inovasi mahasiswanya.
Kini kampus dipenuhi dengan dosen-dosen yang anti-kritik, anti-perubahan dan tidak mau susah. Kondisi ini didukung dengan aksi mahasiswa memboikot mulut mereka untuk bertanya. Maka berjayalah mereka, karena tidak perlu lagi cemas dan panas dingin ketika ditanya secara kritis oleh mahasiswa. Dosen seperti ini juga selalu mengkambinghitamkan mahasiswa jika ada kesalahan dalam proses belajar-mengajar, tanpa harus mengintrospeksi pada dirinya sendiri.
Dosen yang memburu jam tayang atau yang merugikan mahasiswa tidak layak hidup di kampus. Tapi mahasiswa di dalam mimpiku sudah menjadi hewan ternak dosen. Kalau ada mahasiswa mencoba adu nyali. Maka dia akan menjadi abnormal di kelas, hingga dipandang sinis oleh teman-temannya. "Adu…jangan jadi sok pintar, deh. Disini yang maha pintar adalah dosen. Berhentilah melucu dan membuat waktu pulang menjadi terhambat."
Paradoksnya, suatu ketika saya ketemu dengan alumni disalah satu kampus negeri yang memiliki dosen-dosen pengisap darah mahasiswa. Dia bercerita tentang usaha profit (sebut saja ruang konseling remaja online) yang dilakukan bersaman teman-teman alumninya. Mendengar ceritanya, saya mengapresiasi usaha mereka. Namun apresiasi itu tidak didapatkan dari mayoritas pengisap darah di kampusnya. Malahan mereka di cecar negatif dan tidak yakin kalau semuanya mengerti dengan usaha mereka. Tapi, apakah dosen itu lupa kalau yang dia celah dan tuduh adalah hasil dari rahim mengajarnya.
Mungkin saya yang tidak percaya pada dosen-dosen yang "sudah" memberikan sesuatu yang sangat maksimal untuk mahasiswa. Tapi saya adalah orang yang tidak mau masuk ke pola pimikiran dalam kotak seperti begitu. Pola pemikiran yang menganggap pernyataannya yang paling benar di segala sisi dan sudut alam semesta ini, namun sebenarnya mereka masih berpikir di dalam kotak saja. Analoginya (mudah-mudahan dosen-dosen tau apa itu analogi), ada seorang yang sombong berkata "saya sudah membaca semua buku secara maksimal." Tapi ketika ditelusuri, ternyata dia hanya membaca buku-buku di dalam rumahnya. Sungguh pengklaiman yang sesat dan menyesatkan.
Apa yang harus dilakukan, untuk mengembalikan eksistensi mahasiswa agar kembali menjadi the power of people critich.
BalasHapusSejauh pemahaman saya terhadap narasi saudara, kini mahasiswa hanya menjadi pelajar yang hanya akan terus di suapi makanan di mulutnya, betulkah seperti itu ?
Kampus harus melakukan revolusi, bukan reformasi. guna mengembalikan kampus kepada fitrahnya sebagai wadah pendidikan. selagi masih ada generasi Romantik-Soehartoisme di kampus. maka itu akan menjadi virus yang setiap saat bisa menjangkiti kampus lagi
BalasHapus