MANUSIA ANTI KRITIK ADALAH WABAH DUNIA PENDIDIKAN DAN ALAM SEMESTA

Narakomen-11

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد

“Kritik bisa terbentuk tanpa konsep, tapi konsep tidak bisa terbentuk tanpa kritik”

Kritik Adalah Budaya Peradaban Manusia 

Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Sang Pencipta memiliki perbedaan satu sama lain, baik dari segi fisik hingga cara berpikir. Perbedaan-perbedaan ini bukanlah suatu kutukan, namun sebagai rahmat kepada alam semesta untuk saling melengkapi satu sama lain serta perwujudan kerjasama mencapai tujuan yang agung.

Salah satu cara manusia mensyukuri perbedaan tersebut dengan saling mengkritik. Kritik merupakan upaya kita saling mengoreksi atau menguji suatu teori, pendapat, kebenaran dan keyakinan. Misalnya, Agama islam tidak akan ditahu kebenarannya jika kita tidak pernah diuji (dikritik). Makanya, menurut beberapa tokoh mengatakan sesuatu yang tidak dapat diuji tidak akan bisa diyakini kebenarannya.

Oleh sebab itu, fenomena saling mengkritik dalam dunia pengetahun bukan sesuatu yang baru. Malahan menjadi budaya para pemikir atau para ilmuan. Salah satu contoh, cerita tentang Sigmund Freud yang merupakan pendiri psikoanalisis harus menerima kritik, bukan hanya dari luar penganut psikoanalisis, tapi oleh murid-muridnya sendiri. Hasilnya ilmu pengetahuan psikologi semakin hari semakin berkembang. 

Menurut beberapa ahli, kritik terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah latar belakang manusia, pengetahuan atau cara pandangnya. Perbedaan inilah yang mendorong manusia saling mengevaluasi, menguji, guna menjadikan sesuatu itu mendekati kesempurnaan. Buktinya perubahan peradaban manusia dari zaman batu hingga zaman sekarang.

Para Wabah Anti Kritik

Cerita dalam perkembangan manusia yang “Bhineka Tunggal Ika”, terdapat beberapa manusia yang anti kritik. Mereka adalah manusia menyukai kesamaan dan mengutuk perbedaan. Selain itu, mereka cenderung menggunakan dogma guna menghindari pertanyaan yang menggugat atau mengkritik kebenaran yang mereka yakini.

Oleh sebab itu, pada awalnya, orang-orang anti kritik berada di luar dunia ilmu pengetahuan. Mereka berada di ruang-ruang pemerintah dan keagamaan. Ruang-ruang inilah yang diyakini dapat memperluas dogma mereka serta mempermudah mengeliminasi orang-orang yang mencoba mengkritik mereka. Malahan mereka tidak segan-segan menghilangkan nyawa seseorang.

Banyak bukti dimana orang-orang yang mengkritik kesalahan yang dinormalisasikan sehingga menjadi suatu kebenaran dan fakta harus berujung dengan hukuman hingga kematian. Socrates—seorang bapak filsafat barat, dihukum dengan meminum racun. Pikirannya dianggap sebagai racun untuk pemahaman yang dianut di zaman itu. Abad pertengahan tahun 415, Mesir. Seorang filsuf perempuan, ahli matematika dan astronomi—bermama Hypatia juga kehilangan nyawa dengan cara dikuliti, organ tubuhnya dikeluarkan dan akhirnya jasadnya dibakar. Penyebabnya karena ilmu pengetahuannya berbeda dengan keyakinan otoritas keagamaan di zamannya. 

Giordano Bruno—seorang biarawan, filsuf, matematikawan, penyair, ahli teori kosmologis, dan okultis Hermetik yang berasal dari Italia. menerima hukuman mati, dimana dia dibakar hidup-hidup. Sekali lagi karena pengetahuannya berbeda dengan otoritas gereja pada saat itu. Bahkan Imam Asy-Syafi'i, seorang pendiri dari salah satu 4 madzhab di sunni, pernah merasakan dipenjara karena dituduh sebagai pendukung Syi'ah oleh pendengkinya. Inilah perkataan Imam Asy-Syafi'i yang terkenal :

“Jika rafidhah itu adalah cinta keluarga Nabi, maka saksikanlah bahwa aku ‘rafidhi’”

Mulainya Wabah anti kritik Masuk Di Dunia Ilmu Pengetahuan

Dari sepenggal sejarah tentang para pemikir dan para ilmuwan yang dihukum. Tergambarkan adanya upaya menghentikan perkembangan manusia sebagai makhluk berpikir dan pencari kebenaran. Serta adanya upaya memaksakan kesamaan dalam kebenaran, walaupun kebenaran tersebut tidak pernah diuji sekalipun. Namun, upaya-upaya tersebut tidak bisa menghentikan kefitrahan manusia tersebut. Sebab setiap manusia kritis dibunuh, maka semakin banyak manusia kritis dilahirkan di dunia ini.

Akhirnya, disaat ilmu pengetahuan membuktikan dirinya berkembang. Maka cara pandang manusia semakin hari berubah kearah dimana pendidikan dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat penting. Apalagi di zaman sekarang—di Indonesia, semakin tinggi pendidikannya maka semakin tinggi status yang diperoleh. Selain itu, kebutuhan pendidikan dalam dunia kerja diperhitungkan pula.

Maka—mau tidak mau—orang yang malas berpikir pun harus mencicipi dan belajar ilmu pengetahuan. Sesungguhnya disana, mereka diperkenankan banyak budaya ilmu pengetahuan, baik dari indahnya perbedaan cara pikir, asiknya diskusi, pentingnya kritik dan manfaat perdebatan. Namun, karena dasarnya adalah wabah, maka sifat aslinya tetap muncul dipermukaan. Tujuan mereka masuk di dunia pendidikan bukan karena ilmu dan budaya ilmu pengetahuan, melain untuk mencari kekuasaan, kenyamanan, status dan materi. Maka, ketika mereka mendapatkan kekuasaan, orang-orang yang kritis akan dilemahkan hingga dihilangkan satu-persatu.

Tidak bisa dipungkiri lagi, wabah-wabah sudah berada disekitar kita, baik di kampus, pemerintahan, komunitas, tetangga, hingga keluarga kita sendiri. Bahkan wujud mereka bisa menjadi manusia yang berambut pendek, menggunakan baju rapi atau mewah, memiliki gelar pendidikan yang tinggi, menggunakan baju keagamaan, rajin beribadah, harta yang banyak dan status yang bagus. Tapi semua itu dijadikan sebagai alat untuk mendoktrin serta mengeliminasi secara perlahan-lahan budaya-budaya ilmu pengetahuan. 

Fenomena inilah membuat kerinduan kepada Imam Zaman semakin kuat.

Assâlamu`alayka `ajjalallâhu laka mâ wa`adaka minan nashri wa zhuhûril amri.

wa huwa yawmukal mutawaqqa’u fîhi zhuhûruka, wal-faraju fîhi lil-mu’minîna ‘alâ yadayka

Allâhumma shalli ‘alâ Muhammadin wa âli Muhammad.

Komentar