Kulangkahkan Kakiku Dengan Kenikmatan Atau Kebahagiaan
narakomen-08.
Pada dasarnya, manusia dilahirkan secara fitrawi dengan unsur kesempurnaan dari Maha Sempurna. Karena berasal dari hal yang Sempurna, seharusnya manusia dibekali dengan kebahagian sebagai dasar kehidupannya. Itu berarti, kebahagiaan merupakan hal yang identik dan potensial yang dimiliki manusia sejak lahir hingga akhir hidupnya. Apabila manusia tidak bisa merasakan kebahagiaan, maka akan dipertanyakan kesempurnaan penciptaan manusia di bumi ini.
Faktanya, beberapa orang masih mengalami penderitaan di dunia ini. Kasus bunuh diri hingga anxiety disorder seperti hujan yang tidak mengenal kaya dan miskin, beauty and the beast, atau apapun itu. Mereka akan dibasahi dengan airnya tanpa lagi mengenal arti sebuah kebahagian. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa sebenarnya kebahagiaan itu. Kenapa sangat susah diraih dan dipeluk agar dia tidak lagi pergi dari diri kita.
Menurut KH. Jalaluddin Rakhmat, setiap orang, dengan latar belakang serta umur yang berbeda memiliki persepsi yang bervariasi tentang kebahagian. Ada yang menggambarkan kebahagiaan adalah harta yang banyak, mobil dan rumah yang mewah, pakaian yang branded, makanan yang enak dan mewah, tubuh yang cantik /gagah, memiliki pasangan yang sempurna, hingga beranggapan kebahagiaan adalah aktivitas berfoya-foya. Sehingga munculah slogan hidup bahagia: “selagi muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga”.
Sebelum kita menjadikan slogan tersebut sebagai pedoman hidup kita. Mari kita mencari tau, apa itu kebahagiaan. Menurut Ustad Haidar Bagir, kebahagiaan berbeda dengan kenikmatan. Menurut beliau, kenikmatan adalah sesuatu yang bersifat ekstrinsik dan sangat tergantung dengan kondisi atau zamannya, hingga sewaktu-waktu berubah menjadi kehampaan, kejenuhan dan kegelisahan.
Unsur ekstrinsik pada kenikmatan merupakan sesuatu yang berada dari luar diri kita tapi tidak terlepas dari kita. Misalnya kecantikan/kegagahan, kekayaan, hidup berfoya-foya, atau pasangan yang "ideal".
Unsur-unsur ini telah menjadi standar kebahagiaan bagi kebanyakan orang. Malahan beberapa kasus ada orang rela menjilat, cheat, merendahkan harga dirinya sendiri, merampas hak orang lain, hingga rela mengakhiri hidupnya demi mendapatkannya.
Dalam kajian psikologi sosial, kita (manusia) sebagai mahkluk sosial akan menghindari hidup sendiri dan terdiskriminasikan dari lingkungan. Oleh sebab itu, kita cenderung melakukan konformitas di lingkungan. Artinya kita akan mengikuti apa yang berlaku dan di-validasi oleh kalangan mayoritas.
Disisi lain, kita yang sedang melakukan konformitas berusaha mendapatkan perhatian, pengakuan dan harga diri dari masyarakat dengan cara instan. Misalnya seorang politikus yang mau mencalonkan, akan menggunakan hartanya (misalnya) untuk memperoleh kemenangan, atau seorang wanita mengait perhatian laki-laki dengan paras wajahnya yang cantik.
Makanya, unsur-unsur ekstrinsik bukanlah tujuan akhir kita, melainkan unsur-unsur tersebut hanya menjadi alat untuk memperoleh pengakuan, penghargaan, cinta atau perhatian orang lain. Tapi karena unsur-unsur ekstrinsik itu tidak bisa bertahan lama, maka apa yang dituju akan hilang mengikuti menghilangnya unsur-unsur tersebut.
Perhatikan orang-orang kaya disekitar kita. Uang yang mereka miliki, memang bisa memanjakan mereka untuk membeli dan melakukan apappun yang mereka inginkan, sekaligus mereka akan diberikan perhormatan dari orang lain. Tapi kekayaan itu bisa merubah menjadi kegelisaan, rasa was-was setiap hari, dan kehormatannya akan hilang sewaktu-waktu.
Atau lihatlah wanita cantik. Mungkin wanita lain yang melihatnya akan berkata dalam hati, "Alangkah bahagianya dia memiliki paras yang cantik karena dia akan dipuja dan diperhatikan oleh orang-orang". Tapi sampai kapan kecantikan itu bertahan. Penuaan dirinya akan diikuti dengan kurangnya orang yang mengaguminya.
Sedangkan, kebahagiaan—menurut Ustad Haidar Bagir, merupakan sesuatu yang bersifat instrinsik, memberikan suatu ketentraman, underlying happiness dan lestari.
Menurut beliau kebahagiaan merupakan proses belajar seseorang terhadap dunia ini. Proses ini bertujuan untuk menemukan suatu makna terhadap suatu peristiwa yang kita alami. Makanya orang yang meraih kebahagiaan, tidak akan terpengaruh dengan penderitaan (underlying happiness).
penderitaan bukanlah menjadi musuhnya yang harus dihindari, malahan penderitaan dijadikan alat untuk memaknai suatu kebahagiaan tersebut. Berbeda yang berburu kenikmatan, mereka akan melenyapkan penderitaan. Bahkan ada orang yang ingin menghindari penderitaan dengan merebut dan menindas hak orang lain. Padahal, penderitaan adalah jembatan mencapai kebahagiaan. Seperti enaknya masakan tidak akan dirasakan jika tidak diawali dengan rasa lapar atau seperti indahnya finish tanpa adanya perjuangan.
"Seseorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan, sebelum merasakan pahitnya kesedihan" (Imam Ali bin Abu Thalib)
Oleh sebab itu, kebahagiaan yang lestari tidak berada orang-orang yang berburu kenikmatan. Malahan kebahagiaan bersama orang-orang yang menemukannya dalam diri dan kehidupannya.
Menurut psikologi positif, manusia dilahirkan memiliki potensi untuk bahagia, bukan sebagai manusia yang rusak. Bahkan Alfred Adler (Toko Psikologi neofreudian) pun mengatakan bahwa superioritas dapat diraih oleh siapapun, bahkan orang yang inferior. Sebab superioritas bukan merupakan unsur genetik. Namun merupakan persepsi orang terhadap dirinya sendiri. Begitu pula dengan inferior. Makanya orang yang cacat atau miskin pun memiliki peluangan untuk menjadi superior dalam mencapai kesempurnaan itu.
Hal ini berarti, kebahagiaan merupakan suatu hasil persepsi kita terhadap diri kita dengan keadaan sekitar kita. Persepsi yang bagus—positif akan menghasilkan pemaknaan yang bagus terhadap apa yang terjadi pada diri kita. Pemaknaan ini akan menghasilkan kebahagiaan instrinsik untuk kita sendiri.
Sebagai contoh—saya kutip dari buku Ustad Haidar Bagir. Ada seorang suami yang datang kepada Viktor Franklin—pelopor logoterapi, dia menceritakan penderitaannya setelah kehilang istrinya yang meninggal dunia. Dia merasa hidupnya sangat tersiksa hidup sendiri tanpa istrinya. Melihat dari kasus ditimpa oleh suami itu. Menurut Frankl, ada kesalahan dalam diri suami itu dalam memaknai tragedi tersebut. Oleh sebab dia memberikan pemaknaan alternatif kepada suami itu.
"Coba bayangkan apa yang terjadi kalau istri Anda selalu bersama Anda, hingga Anda mati meninggalkannya? Memang Anda tidak mengalami kesedihan luar biasa seperti ini, tetapi kira-kira apa yang terjadi dengan istri Anda jika justru Anda yang lebih dahulu meninggalnya?"
Apa yang terjadi pada suami itu setelah mendengarkan Dr. Frankl. Suami itu tidak lagi menjadi laki-laki yang menderita dalam kesepian, malahan dia mulai berpikir bahwa dia telah menyelamatkan istrinya dari penderitaan yang dia derita saat ini.
Bila kita belajar dari contoh diatas. Kebahagian merupakan kehidupan yang memiliki pemaknaan positif di dalamnya. Tapi banyak diantara kita tidak bisa mencapai kebahagiaan dan hanya memburu kenikmatan ekstrinsik. Padahal alam semesta ini banyak memberikan tanda-tanda agar manusia dapat memaknainya.
Seperti perkataan Tuhan "Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan". Maka pencapaian makna akan kehidupan harus ditempuh jalan berpikir (belajar). Ketika kita sudah menemukan makna-makna itu, maka kebahagian akan datang sendiri memeluk diri kita.
Apabila kita tidak menggunakan pikiran (belajar) mencapai kebahagiaan, maka kita akan terjebak pada kenikmatan dunia yang ekstrinsik. Makanya jangan heran perselingkuhan itu terjadi. Perselingkuhan merupakan jebakan akan sebuah ekspektasi terhadap kenikmatan ekstrinsik dunia yang mengakibatkan kita berimaginasi akan kecantikan dan sensasi seksualitas pada orang lain.
“…Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (Al-Mulk : 3).
Komentar
Posting Komentar