Sebenarnya Tidak Berhubungan
narakomen-01.
Suatu waktu, di suatu daerah yang masyarakatnya masih mempercayai dewa-dewa, sedang mempersiapkan upacara adat untuk berterimakasih kepada dewa-dewa yang telah melindungi mereka dari marabahaya.
Dalam penelitian yang berjudul "Konstruksi Cerita Tolire Gam Jaha Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lisan." Upacara yang berjalan dengan lancar dan hikmat, dihiasi perilaku konsumsi minuman-minuman beralkohol—tuak dan arak. Kesadaran penduduk desa pun tak terkontrol lagi. Termasuk Kepala Desa yang dihormati di desa tersebut. Seorang wanita yang memiliki kecantikan, rambut yang panjang sebatas betis, dan memakai baju yang berkilauan di upacara adat, membuat gelap mata Kepala Desa. Tanpa berpikir panjang, Kepala Desa itu langsung menyantap wanita itu dengan birahinya.
Hiru piruk upacara telah berlalu. Kesadaran masyarakat mulai kembali, begitu pula Kepala Desa. Tidak berselang lama Kepala Desa kaget—menyadari perbuatan yang telah dilakukannya. Ditambah lagi wanita yang digauli adalah anak kandungnya sendiri. Singkat cerita, perilaku tidak senonoh ini tercium oleh warganya sendiri. Kepala Desa dan anaknya pun diusir dari kampugnya sendiri. Konon, tidak butuh waktu lama, setelah kepergian mereka, gempa bumi menggoyangkan desa dan air dari bawah tanah perlahan-lahan meluap—menenggelamkan desa mereka— Desa Tolire. Beberapa sumber mengatakan sebelum gempa itu muncul. Terdengar suara ayam “tolire gam jaha, tolire gam jaha, tolire gam jaha …”, yang artinya tolire dilanda bencana, tolire akan tenggelam.
Inilah sepenggal cerita rakyat Maluku Utara—Ternate. Cerita ini menggambarkan bahwa gempa bumi dan tenggelamnya desa Tolire—sekarang disebut Danau Tolire—merupaka cerita hikayat tentang murka dewa terhadap perilaku tidak terpuji Kepala Desa. Kalau dalam versi agamanya disebut dengan azab Tuhan. Tapi, bagaimana dengan peristiwa yang menimpa Sulawesi Tengah (Sulteng), tahun 2018?
Masih ingatkah tentang tragedi yang terjadi di Sulteng. Peristiwa besar, sehari sebelum peringatan hari ulang tahun Kota Palu, tahun 2018. Gempa, tsunami dan likuifaksi secara bertubi-tubi menyerang daerah-daerah di Sulteng ( Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong). Berita dari Republika.co.id, mencatat, ada 4.340 jiwa korban dalam peristiwa tersebut.
Dipercayai, peringatan Hut Kota Palu 2018—Sulteng, mengandung perilaku syirik yang mendatangkan azab Tuhan. Perilaku syirik ini berasal dari festival Nomoni yang memuat ritual balia dari suku Kaili yang bersifat animisme dan dinamisme.
Bersumber dari CNN Indonesia, tanda-tanda azab Tuhan di Sulteng tidak terjadi di tahun 2018 saja. Dimulai pada tahun 2016. Ketika festival Nomoni mulai mengisi peringatan ulang tahun Kota Palu. gempa menimpa daerah Bora dan Sigi Biromaru. Tahun selanjutnya—tahun 2017, Talise diserang angin kencang dan hujan deras. Puncaknya—gempa, tsunami dan likuifaksi hadir di tahun 2018. Selain karena festival Nomoni. Politisi dari Malaysia—Ahmad Zahid Hamidi, mengaitkan peristiwa di Sulteng dengan LGBT.
Tapi, apakah peristiwa-peristiwa tersebut memiliki korelasi yang signifikan? Untuk melihat keakuratan suatu kesimpulan dalam menghubungkan dua peristiwa yang berbeda, maka harus ada kekonsistenan korelasi antara keduanya.
Suatu hari, saya mendengar cerita dari seorang istri tukang cukur tentang penolakan terhadap vaksin COVID-19, khususnya vaksin untuk anak. Waktu itu saya sedang menemani L (nama anak saya) cukur—tempat cukur yang dekat dari rumah. Ibu itu bercerita panjang lebar soal penolakannya terhadap vaksin. Sebagai anak muda yang baik, saya mendengarkan dengan seksama. Dari sekian banyak alasan penolakannya, ada satu alasan yang baru untuk saya. Kata Ibu itu "Bahaya itu vaksin anak, katamya vaksin itu bisa membuat anak tidak bisa hamil." Tapi, bagaimana dia bisa tau vaksin itu bisa membuat anak perempuan tidak bisa hamil. Padahal anak yang di-vaksin masih berusia 6-11 tahun?
Antara vaksin COVID-19 dan kehamilan yang masih berusia belia merupakan variabel yang berbeda dan belum tentu memiliki hubungan. Tapi untuk membuktikan kebenaran ibu itu, maka kita harus melihat kekonsistenan efek vaksin terhadap kehamilan anak perempuan yang terjadi 6-11 tahun akan datang. Jika efek itu terbukti secara konsisten, maka dapat dipastikan Ibu istri tukang cukur itu, benar. Tapi jika terjadi sebaliknya, vaksin tidak memberikan efek secara konsisten. Maka kesimpulan tentang kedau variabel tersebut adalah hoax atau salah.
Selain kekonsistenan, kesalahan berpikir (fallacy) dapat mengakibatkan kesalahan dalam menyimpulkan beberapa peristiwa. Dalam buku Rekayasa Sosial, karya KH. Dr Jalaluddin Rakhmat, M.Sc—Beliau menjelaskan beberapa kesalahan berpikir—fallacy—yang terjadi dalam masyarakat. Salah satunya, post hoc ergo propter hoc—kesalahan berpikir yang terletak pada datang ke suatu kesimpulan hanya berdasarkan urutan peristiwa. Misalnya, kedatangan Rudi ke pesta diiringi dengan turunya hujan yang lebat. Jadi disimpulkan, hujan lebat yang turun karena kehadiran Rudi di pesta. Apakah Rudi penyebab turunan hujan lebat di pesta? atau apakah festival Nomoni mendatangkan azab Tuhan?
Kesalahan berpikir dan tidak adanya kekonsistenan dapat menimbulkan bias konfirmasi dalam menilai suatu peristiwa. Peter Wason—psikolog Inggris, menjelaskan bias konfirmasi adalah kecenderungan kita untuk secara keliru menganggap adanya hubungan antara satu hal dengan hal yang lain, tapi sebenarnya tidak berhubungan (apophenia).
Michael Brant Shermer—seorang penulis ilmiah, sejarawan ilmu pengetahuan, pendiri The Skeptics Society, dan editor Amerika Serikat, menyatakan orang yang melakukan bias konfirmasi lebih sering membentuk argumen mereka dari kepercayaan pribadi yang didasarkan pada prasangka, keyakinan, atau tradis yang bersifat subjektif. Bukan dari bukti empiris atau penalaran logis. Makanya, orang-orang yang melakukan bias konfirmasi lebih memilih mempertahakan kebodohan mereka untuk menjunjung keyakinan yang bersumber dari ketidaktahuan, daripada menerima kebenaran yang bisa meruntuhkan keyakinan itu.
Bias konfirmasi bisa terjadi pada siapapun, termasuk kalangan agamawan. Fatalnya, kalau kalangan agamawa yang berbicara, orang-orang akan mempercayai begitu saja. Apalagi pernyataan itu dibarengi dengan Kitab Suci maupun Hadits. Akhirnya, sikap kritis, analisis dan menguji kebenarannya sirna begitu saja. Seolah-olah kemarin kita tidak pernah sekolah. Misalnya, larangan menangis di depan mayit. Beberapa dari mereka meyakinin menangisi mayit akan membuat mayit menderita di alam kubur. pengetahuan ini didasarkan pada keyakinan mereka terhadap sesuatu yang belum bisa dibuktikan secara rasional. Padahal ilmu psikologi, menganjurkan kita harus menangisi kepergian mayit daripada menahan tangisannya karena akan berakibat pada timbulnya gangguan mental dan akal apabila dengan sengaja ditahan. Namun, bagi mereka yang menyakini larangan tersebut adalah sesuatu yang wajib walaupun tidak dibuktikan secara rasional atau empiris,
Jadi sebenarnya, beberapa peristiwa yang terjadi di dunia ini, memiliki kesimpulan yang keliru. Padahal orang yang memberikan penyataan adalah orang-orang yang memiliki gelar akademisi misalnya profesol ataupun gelar agama (Ustad). Apakah ini disebabkan cara mereka berpikir yang keliru sehingga terjadi bias konfirmasi atau kita yang belum siap untuk masuk di zaman demokrasi ini. Sehingga, orang-orang yang tidak kompatibel bisa berbicara bebas di umum dan melahirkan pengetahuan yang tidak memiliki dasar rasionalitas dan empiris. Konon, seorang ateis menjadi ateis bukan karena tidak meyakini adanya tuhan. Tapi sepanjang hidupnya dalam mencari Tuhan, mereka ketemu dengan orang-orang yang menjelaskan tentang Tuhan dan apa terjadi di dunia ini secara bias konfirmasi (contoh peristiwa 2018-Sulteng).
Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam menghubungkan kedua fenomena yang berbeda haruslah dibekali dengan kemampuan kita membuktikan secara rasional atau empiris. Tanpa adanya pembuktian, maka akan menyebabkan terjadinya hoax atau fitnah dimana-mana, apalagi menggunakan label agama sebagai cap kebenaran. Sangatlah membodohi. Selain itu, menyaring dan bersikap ragu terhadap pernyataan orang lain, bisa menyelamatkan kita dari perangkap kebodohan. Tapi, semua kembali kepada pengetahuan kita. Titel akademik yang didapat dalam dunia akademi dan gelar agama yang di dapat dari penilaian orang, tidak bisa menjamin orangt-orang itu terhindar dari bias konfirmasi. Ilmu pengetahuan tidak sependek dan sebatas kemauan yang kita yakini sekarang. Menyelami samudera ilmu pengetahuan adalah cara membebaskan diri kita dari keyakinan yang bersumber dari ketidaktahuan.
Komentar
Posting Komentar