Jangan Seperti Wati
narakomen-03.
Karena merasa efektivitas dia mengajar terganggu dengan gajinya. Maka Wati mengadu kepada ke Kepala Sekolah dan Instansi terkait. Tapi sayang, jawaban yang diperoleh bukan mendukung dirinya. Melainkan dia disuruh berhenti jika tidak bisa mengabdi dan tidak sanggup untuk mengajar.
Sebenarnya jawaban itu memaksa Wati harus menerima kalau guru honorer memang digaji seperti begitu. Selain itu, Wati juga dipaksa bahwa gaji segitu sudah wajar di negeri entah berantah dan dianggap sebagai suatu pengabdian kepada negara. Akhirnya, Wati berpikir kalau istilah "pengabdian" bisa digunakan untuk menjerat orang-orang seperti Wati untuk menerima keadaan ini tanpa harus bertanya macam-macam. Sedangkan orang-orang diatasnya berpesta pora dengan uang yang banyak.
Perlu diketahui, Wati mempertanyakan gaji itu, bukan berarti dia tidak mampu. Tapi Wati merasa haknya sudah terdzolimin oleh orang-orang diatasnya. Wati juga pertanyaan gajinya, karena mengajarnya tidak akan efektif jika perut dan kebutuhan primernya susah dipenuhi. Ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah murid-murid Wati. Pertanyaan itu juga bukan berarti tidak mau mengabdi kepada negara, tapi Wati harus mewaspadai orang jahat yang membodohi orang-orang dengan menggunakan kata "pengabdian"
Memang tidak semua guru honorer berpikiran seperti Wati. Tapi ingatlah, apakah apel yang jatuh dipertanyakan oleh semua orang? Hanya Isac Newton saja yang mempertanyakan kenapa apel bisa jatuh ke bawah. Akhirnya karena kesadaran Newton, semua orang menyadari bahwa gravitasi itu memang ada. Oleh sebab itu, jika ketemu dengan Wati, jangan cepat berprasangka buruk. Berpikirlah lebih dahulu. Agar anak cucu tidak senasib seperti Wati
Komentar
Posting Komentar