Dia Tidak Profesional

narakomen-02.


Sandra Desi Caesaria—penulis Kompas.com, memberitakan Pak Nadiem Makarim selaku menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek)---dimasa kepresidenan Bapak Jokowi periode ke-2---mengatakan ada 80% lulusan perguruan tinggi bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. 

Beberapa asumsi menjelaskan kenapa ada yang bekerja tidak sesuai jurusan. Pertama, pada awal mendaftar di Perguruan Tinggi (PT), calon mahasiswa mengalami krisis passion dalam menentukan jurusan mana akan ditekuni. Maka passion-nya dibentuk oleh orang tua, teman, atau gambaran prospek kerjanya. Tapi pilihan itu  secara pelahan disadari bukan sebagai passion-nya, akhirnya mahasiswa itu mengalami downshifting—situasi yang membuat siswa menjadi jenuh dalam belajar, kehilangan semangat belajar, dan kemampuan siswa yang semakin menurun—pada bidang keilmuannya.

Asumsi kedua, lembaga pendidikan lebih memfokuskan kuantitas—banyaknya wisudawan/i—sarjana, dibandingkan kualitas. Hal ini berefek terhadap penyempitan lapangan pekerjaan. Selain itu, sarjana-sarjana yang menjadi produk PT, tidak bisa menjadi patokan kalau mereka sudah mendalami keilmuannya selama perkulihaan. Malahan, beberapa dikalangan mereka menjadikan gelar akademis-nya sebagai batu loncatan untuk melamar pekerjaan di bidang yang berbeda dengan keilmuannya. 

Beberapa hari yang lalu, seorang mahasiswa menceritakan kepada saya tentang seorang Kepala Desa yang ditangkap karena ketahuan membeli ijazah. Memang ini adalah masalah hukum. Tapi, jika dinilai lebih dalam lagi. Apa salahnya kepala desa itu memberi ijazah. Apakah seorang sarjana dapat memperlihatkan kualitasnya sebagai hasil prosesnya di PT . Jika tidak, berarti perbuatan Kepala Desa adalah jalan praktis dan ekonomis untuk memperoleh ijazah dan gelar. 

Kedua asumsi tersebut, dapat menyebabkan munculnya tindakan ketidakprofesionalnya seseorang dalam menindaki sesuatu. Menurut KBBI, Profesional adalah kepandaian khusus untuk menjalankan/menyelesaikan sesuatu. Sedangkan Sudjana (2008) menjelaskan profesional sebagai profesi yang dilakukan oleh orang yang secara khusus dipersiapkan untuk hal itu. Berdasarkan definisi ini, seharusnya ijazah dan gelar yang diperoleh merupakan kepandaian khusus yang sudah dipelajari dan menjadi tolak ukur seseorang adalah profesional. 

Profesionalnya seseorang bisa diandalkan dan dipercayai jika keilmuannya di-upgrade ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi (S2 atau S3). Namun, pengambilan keilmuan yang tidak sama dengan jenjang perkuliahan sebelumnya (kasus ilmu yang tidak linier) dapat meragukan tingkat kedalaman ilmunya dalam menyelesaikan masalah secara profesional. Misalnya, apakah seorang sarjana S1 Manajemen dan Bisnis bisa disebut seorang dokter karena mengambil S2-nya bidang kedokteran dan dianggap profesional untuk menyembuhkan penyakit manusia? 

Kini gelar akademis kurang bisa dijadikan kebenaran untuk mengakui keahlian atau seberapa profesionalnya seseorang. Akhirnya orang akan sebarang mengabil bidang keilmuan sebagai bantu loncatan saja. Misalnya, seorang yang S1-nya adalah kedokteran menjadi direktur disalah satu perusahaan. Kemudian, dia mengambil S2-nya   Magister  Administrasi Rumah Sakit. Pada dasarnya, kedokteran adalah ilmu yang mempelajari bagaimana memelihara kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit. Sedangkan, administrasi rumah sakit, ilmu yang mempelajari bagaimana mengelola dan mengadministrasikan urusan-urusan rumah sakit. Pada kasus ini, terjadi ilmu yang tidak linier yang mengakibatkan secara akademis dia bukanlah ahli dalam kedokteran dan bukan juga ahli dalam administrasi rumah sakit. Jika gelar dan kedalaman ilmu (linier) dalam dunia pendidikan bukan menjadi tolak ukur keahlian seseorang, apa lagi yang menggantikan itu. Kalau ada yang lain, lebih baik ikuti ajaran Kepala Desa itu. 

Kasus sebelumnya bukanlah satu-satunya, perhatikan beberapa rumah sakit yang direkturnya adalah seorang dokter. Dengan alasan yang sama, apakah memilih seorang dokter sebagai direktur rumah sakit merupakan penyerahan masalah kepada bukan ahlinya. Melainkan sebagai suatu invasi—sikap menguasai—lapangan pekerjaan. Apalagi jabatan direktur berkaitan dengan kekuasaan dan profit. 

Bapak Jusuf Kalla ketika menjadi Wakil Presiden pernah menyatakan bahwa direktur rumah sakit tidak perlu dipimpin oleh dokter. Sebab keahlian dokter hanya berkisar antara sepertiga yang dibutuhkan rumah sakit, sedangkan dua pertiga lainnya adalah kepada kemampuan peran tenaga teknis yang mengurusi peralatan kesehatan dan kemampuan sebagai pelaku hotelier—seseorang yang dapat memimpin operasional, manajemen atau mengatur bisnis rumah sakit.

Memang betul, tidak ada salahnya seorang dokter menjadi direktur di rumah sakit karena mungkin ada mata kuliah manajemen rumah sakit. Namun, ilmu itu bukanlah ilmu primer bagi dokter. Makanya, jika dokter menjadi direktur, maka rumah sakit dipenggang oleh seseorang yang tidak profesional. 

Wahyu Andrianto, mengatakan jika hanya dokter yang bisa menjadi pemimpin—Direktur Utama Rumah Sakit mengakibatkan timbulnya cluster profesi yang bisa diartikan sebagai invasi jabatan dan diskriminasi terhadap profesi lainnya. 

"Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (Hadits Bukhari Nomor 6015)

Tidak hanya itu, invasi dan sikap tidak profesional bisa terjadi di bidang keilmuan lain, misalnya bidang psikologi. mungkin kita pernah dengar istilah "psikolog", tapi kita tidak pernah tau dan bertanya bidang kefokusan dalam psikolog itu. "Psikolog" itu adalah gelar yang diperoleh ketika menyelesaikan  jenjang Magister Psikolog Profesi    wajib S1-nya adalah psikologi   dan memilih salah satu dari beberapa fokus keilmuan, misalnya Industri, pendidikan, sosial, klinis atau perkembangan. Output-nya, jika memilih klinis (misalnya), maka dia akan menjadi psikolog yang berfokus pada klinis atau biasa disebut dengan psikolog klinis. Kalau memilih sosial (misalnya), maka dia akan menjadi psikolog yang berfokus pada sosial atau biasa disebut dengan psikolog sosial. Begitu seterusnya.

Sikap tidak profesional seorang psikolog bisa saja terjadi dimana-mana. Beberapa kasus yang pernah saya temui, seorang psikolog pendidikan melakukan asessmen di instasi/lembaga atau psikolog klinis melakukan konseling di bidang pendidikan. Padahal, psikolog yang profesional akan bertindak berdasarkan fokus ilmu yang dipelajari di bangku kuliah. Misalnya, psikolog pendidikan. Selama dia kuliah di profesi, ilmu-ilmu yang dipelajari akan lebih dominan tentang masalah-masalah pendidikan dalam sudut pandang psikologi. sedangkan masalah-masalah lainnya   misalnya sosial   tidak dikaji lebih dalam ataupun tidak pernah dikaji sama sekali.  

Tapi jika psikolog klinis (misalnya) mengurusi masalah-masalah sosial, dia akan dinilai tidak profesional. Apabila tetap dipaksa untuk  menyelesaikannya   mungkin karena kebutuhan perut dan nama baik   sebenarnya dia sudah melakukan malpraktek. Hal ini disebabkan psikolog klinis merupakan seorang amatiran dalam masalah sosial.

Makanya, jika dikatakan, masalah Anda akan ditangani oleh seorang psikolog profesional. Tanya dulu, apakah masalah yang Anda hadapi, ditangani oleh psikolog yang kefokusannya sesuai dengan masalah Anda. Serupa juga. Jika Anda ingin berobat pada dokter. Pasti Anda akan cari dulu dokter yang sesuai dengan penyakit Anda. Kalau ditangani oleh dokter yang tidak sesuai dengan penyakit Anda. Itu namanya malpraktek. Yang penting jangan tanya soal manajemen dan bisnis kepada dokter

Komentar